5 MINGGU PRA PASKAH & 1 MINGGU SENGSARA
(Sebuah Catatan terhadap Tradisi dan Hari Raya Gerejawi di GMIT)
Oleh: Pdt. Yuda D. Hawu Haba, M.Th
(Ketua Badan Perencanaan, Penelitian dan Pengembangan Pelayanan Sinode GMIT - BPPPPS)
GMIT (Gereja Masehi Injili di Timor) sejak lama memperingati “Minggu Sengsara” yang merupakan salah satu Hari Raya Gerejawi dan ‘konon’ hanya berupa sebuah Siklus Gerejawi. Meski demikian, terdapat dua hal pokok sehubungan dengan masa yang seharusnya disebut Pra Paskah. Pertama, kita menyebut seluruh minggu sebagai Minggu Sengsara. Kedua, kita merayakannya selama tujuh minggu. Di mana letak kejanggalannya?
Dalam studi liturgi, tidak pernah dikenal adanya Minggu Sengsara yang lebih dari satu hari minggu. Minggu Sengsara hanya dirayakan pada minggu terakhir sebelum Hari Paskah. Sedangkan minggu-minggu sebelumnya, selalu disebut minggu-minggu Pra Paskah. Mengapa? Karena, pada minggu-minggu Pra Paskah itu Yesus dalam kisah hidup-Nya memang belum menjalani kesengsaraan-Nya.
Yesus sendiri memasuki Yerusalem, seminggu sebelum kematian-Nya. Itulah sebabnya minggu terakhir sebelum Hari Paskah disebut Minggu Sengsara atau Minggu Palmarum. Jadi penamaan yang tepat adalah: Minggu Pra Paskah I sampai dengan Minggu Pra Paskah V, barulah Minggu Sengsara. Lalu mengapa hanya enam minggu? Bukankah biasanya terdapat 7 (tujuh) minggu menjelang Paskah?
Paskah Kristiani tidak bisa dilepaskan dari Paskah Israel. Anak domba Paskah yang dikorbankan pada Paskah Israel digantikan oleh Yesus, Anak Domba Allah (Yoh. 1 : 29; 1 Kor. 5 : 7; 1 Ptr. 1 : 19; Why. 5 : 1 – 6 : 5). Dalam tradisi Israel, yang diikuti oleh gereja, masa Paskah didahului oleh 40 hari masa persiapan yang dimulai dengan Hari Yom Kippur (Hari Penebusan). 40 hari ini melambangkan 40 tahun perjalanan Israel di padang gurun setelah penebusan mereka dari tanah Mesir.
Oleh karena itu, ada 5 minggu Pra Paskah dan 1 Minggu Sengsara (semuanya 6 minggu). Hari Minggu dalam tradisi Kristen selalu dipandang sebagai Hari Kebangkitan Tuhan Yesus, maka hari Minggu dalam Minggu Pra Paskah tidak diperhitungkan. Dengan demikian, selalu dihitung 6 x 6 = 36. Empat hari untuk menggenapi 40 hari dihitung mundur dari hari pertama Pra Paskah dan jatuh pada hari Rabu. Itulah yang disebut Rabu Abu (Ash Wednesday).
Masa Pra Paskah yang sesungguhnya dimulai dari Rabu Abu itu. Karena banyak Gereja Protestan merasa kesulitan merayakan Rabu Abu, maka mereka menggesernya ke hari Minggu sebelumnya sehingga perhitungan seluruhnya 7 hari minggu Pra Paskah. Hari Minggu sebelum Rabu Abu itu, dalam kalender liturgi disebut sebagai Hari Tranfigurasi, yaitu hari dimana Yesus dimuliakan di atas gunung, yang merupakan akhir dari lingkaran Natal. Maka, amat mengherankan, bahwa dalam akhir Lingkaran Natal, kita malah mulai merayakan Minggu Pra Paskah.
Hal ini, bukan soal pilihan atau selera, namun soal kelurusan dan pertanggungjawaban teologis-liturgis. Akankah kita sekadar meneruskan tradisi yang keliru dan kita tidak pernah mendewasakan umat, atau kita berani berubah dan mengubah diri?
Dalam khasanah liturgi, maka kita menggunakan minggu Pra Paskah I - V dengan simbol lilin untuk mmembantu kita menghitung masa Pra Paskah. Oleh karena itu, apa yang harus dilakukan dalam Pra Paskah?
v Pertobatan dan mawas diri yang dimulai pada hari Rabu Abu, terus berlanjut hingga saat pelayanan rekonsiliasi yang biasanya dirayakan dengan sebutan ibadah Kamis Putih;
v Ibadah bukan hanya berhenti pada devosi/penyembahan pribadi, berkonsentrasi pada diri sendiri, tetapi merupakan suatu perjalanan bersama yang penuh dengan nuansa pengharapan, menuju puncak tahun liturgi yaitu perayaan Pra Paskah.
Pada masa ini, kita bertekad untuk melakukan pembaharuan diri dan komuni/persekutuan, dengan menolak segala godaan dosa yang menarik citra Kristus. Seharusnya diadakan aksi pantang/puasa dengan menyisihkan uang belanja, uang rokok atau uang jajan untuk kegiatan sosial baik itu kepada anggota jemaat dan kepada saudara kita di luar gereja yang tidak mampu.
Ada pun Siklus Paskah menurut Leksionari, adalah sebagai berikut:
1. Rabu Abu
Meskipun Rabu Abu lebih banyak dirayakan oleh umat Katolik, namun ada baiknya kalau kita memahaminya. Rabu Abu adalah hari pertama pembuka masa pra Paskah, yakni masa pertobatan, perkabungan, introspeksi diri, pendekatan diri kepada Tuhan dan ‘berpuasa’. Secara umum dalam tradisi Israel, abu melambangkan kefanaan manusiawi (Kel. 3:19; 18:27), agar manusia menyesali diri dan bertobat (Yos. 7:6; Sam. 13:19; Est. 4:3; Ayb. 2:12; Yes. 58:5-7; Yeh. 27:30; Dan. 9:3; Yun. 3:6; Yoel 2:12-13; Mrk. 1:15) Sejak abad ke-4 hingga abad ke10, istilah Rabu Abu belum muncul.
Semula hari Pra Paskah pertama jatuh pada hari Minggu caput quadragesima, bukan sebelumnya. Namun jumlah hari berpuasa menjadi tidak genap empat puluh hari, hanya 36 hari. Maka pada abad ke-6, masa Pra Paskah dimulai sejak hari Rabu [tetapi belum disebut], sehingga jumlah hari puasa menjadi genap empat puluh hari.
Lambat laun, gereja memperpanjang masa Pra Paskah hingga beberapa hari Minggu sebelumnya. Menjelang abad ke-8 di Roma, Pra Paskah mulai dilakukan pada quinquagesima [lima puluh hari, hari Minggu ke-7 sebelum Paskah], sextagesima [enam puluh hari, hari Minggu ke-8 sebelum Paskah], dan septuagesima [tujuh puluh hari, hari Minggu ke-9 sebelum Paskah], sebelum hari Rabu. Setelah hari Rabu itu, hari-hari selanjutnya: Kamis, Jumat dan Sabtu, difokuskan sebagai hari Yesus Teladan umat beriman, berpaling kepada Allah dan mengikuti-Nya, berpuasa, derma, dan menghayati jalan salib.
Keempat hari tersebut diisi dengan pelatihan-pelatihan spiritualitas. Setelah Konsili Vatikan II, masa Pra Paskah disederhanakan, Pra Paskah dimulai sejak Rabu Abu hingga Kamis Putih. Namun Rabu Abu, dengan menaburkan abu, baru dilakukan secara resmi pada abad ke-13. Sebagian gereja-gereja Protestan di Indonesia dewasa ini memulai Pra Paskah dengan quinquagesima.
Penggunaan abu berangsur-angsur baru terjadi pada akhir abad ke-11 hingga abad ke-13, dari Rhenish ke Italia dan Roma oleh Paus sendiri. Paus Urbanus II dalam Sinode di Benevento (1091), merekomendasikan penggunaan abu di setiap gereja. Beberapa saat kemudian muncul doa-doa mengiringi penaburan abu, imam dan laki-laki menaburkannya di atas kepala, perempuan membubuhkannya di dahi. Dari manakah abunya diperoleh?
Pada abad ke-12, pertama kali abu diambil dari daun palem yang dikeringkan sejak Minggu Palem setahun sebelumnya. Inilah sebabnya banyak orang Kristen meletakkan daun Palem yang dibawanya dari Minggu Palem di patung salib di rumahnya. Penggunaan abu sebagai tanda pertobatan dan perkabungan sebelumnya terbatas pada ritus pribadi. Bahkan hingga tahun 1970, penaburan abu dilakukan sebelum kebaktian. Baru kemudian, abu ditaburkan kepada umat, setelah Injil dan khotbah dengan formula “ingatlah, kamu adalah debu dan akan kembali kepada debu” (Kej. 3:19), atau - di zaman modern digunakan – “bertobatlah dan percayalah kepada Injil” (Mrk. 1:15); masuk dalam liturgi firman.
2. Minggu pertama Masa Pra Paskah sampai dengan minggu kelima Masa Pra Paskah
3. Minggu Paskah: Minggu Palm/Passion, Senin di dalam Minggu Sengsara, Selasa di dalam Minggu Sengsara, Rabu di dalam Minggu Sengsara.
4. Kamis Putih
Sebagaimana dikemukakan di atas, bahwa Kamis Putih pun lebih banyak dirayakan oleh umat Katolik. Meski demikian, penting untuk kita memahaminya. Sehari sebelum Yesus disalibkan pada hari Jumat, berarti hari Kamis, di Taman Getsemani, Yesus menyerahkan diri-Nya untuk ditangkap. Ia telah mempraktikkan apa yang selama ini telah diajarkan kepada para murid-Nya. Ketaatan secara total dalam pengabdian kepada Bapa, untuk menjalankan kehendak-Nya, menunjukkan pelayanan yang menyentuh kepada manusia sebagai hamba yang melayani sekaligus berkorban bagi manusia.
Pola pelayanan Yesus, nampak ketika Ia membasuh kaki para murid-Nya satu demi satu. Suatu teladan indah telah ditinggalkan Yesus. Ini tidak hanya berhenti sekadar menjadi kenangan, tetapi harus diteruskan oleh setiap orang yang menyebut diri-Nya murid Yesus.
Di mana pun dan kapan pun, pelayanan yang kita lakukan sekarang harus mengacu kepada teladan Yesus, yang mau merendahkan diri dan menempatkan diri seperti hamba. Prinsip dalam pelayanan adalah selalu siap sedia dan bersiaga bagi mereka yang membutuhkan tanpa membedakan satu dengan yang lainnya (status sosial, suku, dan agama).
Dalam melakukan pelayanan, seringkali seseorang menjumpai godaan dari dalam maupun dari luar, seperti: merasa kerja sendiri, merasa tidak dihargai, disalah mengerti, rasa bosan, dicaci maki, selalu disalahkan. Itu semua, sering membuat kita kendor dalam melayani.
Pesan Yesus untuk menghadapi pelayanan: berjaga-jagalah dan berdoalah supaya kamu jangan jatuh ke dalam pencobaan. Roh memang penurut, tetapi daging lemah. Manusia harus bisa mengalahkannya dengan meminta kekuatan dari Tuhan.
5. Jumat Agung
Sesudah perayaan Kamis Putih, tanda dimulainya Trihari Paskah atau “tiga hari suci Paskah” yakni hari-hari untuk mengenangkan peristiwa penyaliban, penguburan/pemakaman dan kebangkitan Kristus. Drama Kamis Putih dilanjutkan dengan Jumat Agung.
Pada hari Jumat Agung itu acara ibadah hanya sekitar pengenangan pada kesengsaraan dunia yang dihayati melalui sengsara dan kematian Yesus Kristus. Kita mengenang dan menghayati, bagaimana Kristus telah memberikan teladan, dalam siksa, derita dan sengsara. Ia tetap tabah, taat dan setia dalam mengemban misi yang dipercayakan kepada-Nya. Meskipun sempat terucap “Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan Aku”? Namun Ia tetap taat dan setia sampai akhir misi… “Sudah selesai”, ucap-Nya.
Sejak awal mulanya perayaan Jumat Agung tidak pernah dirayakan sebagai perayaan eukharisti (=pengucapan syukur). Dengan demikian, kita telah dapat memahami bahwa Perayaan Perjamuan Kudus pada hari raya Jumat Agung adalah tidak tepat dan perlu dipertimbangkan dengan saksama.
6. Sabtu Teduh/Sabtu/Sepi
Setelah perayaan Jumat Agung selesai, gereja tetap memelihara keheningan berupa ibadah Sabtu Teduh/Sabtu/Sepi. Melalui ibadah, umat dibimbing utuk mengenang/merenungkan kesepian, kebimbangan bahkan keputusasaan yang terjadi pada diri murid-murid Yesus. Berbeda dengan yang mereka harapkan, ternyata Ia yang mereka andalkan telah gagal bahkan mati. Beragam sikap dan rencana sebagai ungkapan dari rasa kecewa, bimbang dan putus asa muncul. Segala sesuatu yang telah mereka lihat dan dengar dari Tuhan Yesus sendiri tentang segala sesuatu yang akan terjadi pada diri-Nya dalam mengemban misi yang dipercayakan Bapa kepada-Nya, pupus dari hati dan pikiran mereka, hilang tertelan kesepian, kebimbangan dan keputusasaan.
Dengan pengalaman “murid yang ditinggalkan gurunya” umat diajak/mau belajar untuk tetap teguh dalam pengharapan, tetap taat dan setia kepada-Nya di tengah kesepian, kebimbangan bahkan keputusasaan. Sejarah mencatat bahwa selama berabad-abad gereja mengenal “Sabtu Teduh/Sabtu Sepi” sebagai “Induk dari semua Ibadah Malam”. Malam Paskah.
7. Paskah
Secara umum, Paskah dikenal sebagai hari peringatan kebangkitan Yesus Kristus. Semula, Paskah – sebagai perayaan penyelamatan dunia yang Allah lakukan di dalam Kristus – dirayakan oleh gereja hanya satu malam, yakni pada tengah malam hingga Minggu fajar.
Sepanjang malam gereja berjaga-jaga menantikan saat-saat perayaan kebangkitan Kristus, seperti menantikan datangnya pembebasan dari perbudakan kuasa dosa, untuk merayakan kemuliaan Kristus sebagai Anak Allah. Itulah sebanya hari kebangkitan Kristus tersebut disebut Paskah, sebagaimana hari keluarnya umat Israel dari tanah Mesir melewati Laut Teberau.
Kata Paskah mengingatkan kita pada Paskah Yahudi – berasal dari kata Yunani “pascha’ atau Ibrani “pesach” yang berarti: melewati atau menyeberangi. Perbudakan di Mesir telah dilewati atau dilalui oleh bangsa Israel dan kini mereka sedang menuju ke tanah perjanjian. Kematian/perbudakan dosa telah dilewati dan kini sedang berada di dunia kebangkitan/kemerdekaan.
8. Perjamuan Kudus Pada Hari Paskah
Entah sejak kapan menjadi tradisi, siklus/lingkaran Paskah, Perjamuan Kudus diselenggarakan pada Jumat Agung. Alasan yang paling sering dikemukakan adalah bahwa Perjamuan Kudus diadakan untuk memperingati Perjamuan Terakhir yang Yesus adakan bersama keduabelas murid (Mat. 26:26-29; Mrk. 14:22-25; Luk. 22:15-20; 1 Kor. 11:23-26). Pada malam itu Yesus memerintahkan para murid-Nya untuk terus-menerus mengadakan Perjamuan Kudus untuk mengingat-Nya (rememberance).
Jika ini alasannya, maka mengapa harus diadakan pada hari Jumat? Bukankah dalam peristiwa passion, pada hari Jumat itu Yesus sudah disalibkan? Yesus mengadakan perjamuan terakhir justru pada hari Kamis atau malah mungkin sehari sebelumnya. Itu sebabnya hingga kini Gereja Katolik dan bahkan mayoritas Gereja Protestan di Amerika Serikat juga, karena selain hari itu, mereka juga menyelenggarakan Perjamuan Kudus pada hari Kamis. Dikatakan juga, karena selain hari itu, mereka juga menyelenggarakan Perjamuan Kudus, bahkan yang terpenting dari semua Perjamuan Kudus sepanjang tahun, pada malam Paskah (Easter Vigil) atau Paskah Subuh. Justru itu, agar klimaks Perjamuan Kudus pada Hari Paskah tidak terganggu, maka Perjamuan Kudus pada hari Kamis sering diadakan sebagai Perjamuan Kasih (agape feast).
Pada Hari Paskah itu pulalah, sejak Gereja mula-mula, diadakan Baptisan Kudus, agar mereka yang dibaptis pada hari itu sekaligus menikmati Perjamuan Kudus pertama mereka. Jadi liturgi pada Hari Paskah itu secara umum terdiri atas empat unsur utama. Pelayanan Terang, Pelayanan Sabda, Pelayanan Air (Baptisan Kudus) dan Pelayanan Roti-Anggur (Perjamuan Kudus).
Mengapa perlu ditegaskan bahwa Perjamuan Kudus diadakan pada Hari Paskah? Alasan utamanya adalah karena Hari Paskah itu adalah Hari Minggu. Kata “Minggu” dalam bahasa Indonesia berasal dari kata Portugis (ketika dulu kita dijajah negara itu), “Dominggo” yang berarti “Tuhan”. Jadi Hari Minggu adalah Hari Tuhan, hari dimana Kristus bangkit. Itu sebabnya saudara-saudara kita yang Muslim memilih untuk memakai kata Ahad untuk menggantikan kata Minggu.
Alkitab dalam banyak catatan yang berserakan menegaskan tradisi Hari Minggu ini sebagai hari merayakan kebangkitan Kristus. Beberapa contoh dapat dipaparkan di sini, dimana penulis Alkitab secara khusus mencantukannya. “Setelah hari Sabat lewat, ….. hari pertama minggu itu, ….. (Mat. 28:1-2; Markus 16:2; Luk. 24:1-2; Yoh. 20:1; Kis. 20:7); …... hari pertama dari tiap-tiap minggu ….. (1 Kor. 16:2).
Karena itulah dalam tradisi oikumenis, Perjamuan Kudus diselenggarakan selalu pada hari Minggu, khususnya tentu pada Hari Minggu Paskah. Secara Teologis, itu berarti, setiap Hari Minggu kita merayakan Paskah Kecil. Tradisi lain menyebutkan bahwa Justru Perjamuan Kudus pada Hari Paskah itu menjadi Feast of feasts, “Perjamuan terbesar di antara semua perjamuan”. Ironisnya, selama ini kita justru menyelenggarakan Perjamuan Kudus pada beberapa hari Minggu sepanjang tahun dan malah mengabaikan Perjamuan Kudus tenpenting setiap tahunnya, yaitu pada Hari Paskah.
Tradisi oikumenis yang merayakan Perjamuan Kudus bukan pada hari Jumat melainkan Minggu memperoleh dasar alkitabiahnya yang paling kuat dari kisah Perjalanan ke Emaus. Pada hari kebangkitan itu pulalahYesus melakukan pemecahan roti. Pada hari itu juga ….., Ia mengambil roti, mengucap berkat, lalu memecah-mecahkannya dan memberikannya kepada mereka (Luk. 24: 13, 30-31).
Apakah pengubahan tradisi dari hari Minggu Paskah menjadi hari Jumat Agung dilakukan oleh para reformator? Ternyata tidak. Justru Calvin dan para pengikutnya sendiri menetapkan dalam Tata Gereja Jenewa 1561 demikian: “… Perjamuan itu harus dirayakan empat kali setahun, yaitu pada hari Minggu yang paling dekat dengan Hari Natal. Hari Paskah, Hari Pentakosta dan hari Minggu pertama bulan September pada musim gugur”. Amat jelas bahwa keempat Perjamuan Kudus yang ditetapkan jatuh pada hari Minggu sebagai hari Tuhan, hari dimana Kristus bangkit. Khusus mengenai Perjamuan Kudus kedua, diadakan pada Hari Paskah, bukan pada Hari Jumat Agung.
Kalau demikian, dari mana tradisi pergeseran hari ini muncul? Sebagian orang berpendapat bahwa gereja Belanda yang datang ke Indonesialah yang melakukannya. Pandangan ini keliru, karena dalam Tata Gereja Belanda 1619, hal yang sama dimunculkan sebagai berikut: “Perjamuan Tuhan harus diadakan sedapat mungkin dua bulan sekali. Bila keadaan gereja memungkinkan, akan mendatangkan kebaikan jika Perjamuan diadakan pada Hari Paskah, Hari Pentakosta dan Hari Natal”.
Maka jelaslah, bahwa penyelenggaraan Perjamuan Kudus pada Hari Jumat Agung yang kian mentradisi tidak memiliki alasan yang kuat. Rasanya, kita perlu mengembalikannya menjadi Perayaan Imam Terbesar, yaitu pada Hari Paskah. Sesuai dengan namanya, eucharist yang berarti pengucapan syukur, kita tidak semata-mata mengingat Kristus yang menderita, disalibkan, dan mati pada Jumat Agung, namun justru mengucap syukur atas Kristus yang bangkit dari maut pada Paskah Kemenangan itu.
Rangkaian kegiatan gerejawi selanjutnya adalah Minggu kedua sampai dengan minggu keenam Paskah, Kenaikan Tuhan Yesus (Kamis ketujuh), Minggu ketujuh Paskah, Pentakosta, Minggu pertama sesudah Pentakosta (Hari Trinitas), Minggu-minggu sesudah Pentakosta, Minggu terakhir Pentakosta (Hari Kristus Raja).
Dari uraian di atas, menjadi refleksi bagi kita apakah semua Hari Raya Gerejawi yang kita rayakan dari waktu ke waktu sekadar sebuah siklus/lingkaran ataukah lenear/garis bujur yang wajib dimaknai dan atau sekadar tradisi?
Uraian berikut ini kiranya menolong kita guna memahami Minggu Sengsara yang seharusnya diperingati satu minggu saja.
MINGGU TERAKHIR
11. Di taman Getsemani, tempat Yerusalem, hari Kamis, Matius 26:36-46, Markus 14:32-42, Lukas 22:40-46;
12. Yesus ditangkap dan diadili, tempat Yerusalem, hari Jumat, Matius 26:47-27:26, Markus 14:43-15:15, Lukas 22:4723:25, Yohanes 18:2-19:16;
13. Yesus disalibkan dan mati, tempat Golgota, hari Jumat, Matius 27:27-56, Markus 15:16-41, Lukas 23:26-49, Yohanes 19:17-30;
14. Yesus dikubur, temapat Kubur di Taman, hari Jumat, Matius 27:57-66, Markus 15:42-47, Lukas 23:50-58, Yohanes 19:31-42;
15. Kubur Kosong, tempat Yerusalem, hari Minggu Paskah, Matius 28:1-8, Markus 16:1-8, Lukas 22:4723:25, Yohanes 20:1-10;
16. Penampakan kepada Maria Magdalena, tempat Yerusalem, hari Minggu Paskah, Markus 16:9-11, Yohanes 20:11-18;
17. Penampakan kepada Perempuan lain, tempat Yerusalem, hari Minggu Paskah, Matius 28:9-10;
18. Penampakan kepada dua murid ke Emaus, tempat Jalan ke Emaus, Markus 16:12-13, Lukas 24:13-22;
19. Penampakan kepada Petrus, tempat Yerusalem, hari Minggu Paskah, Lukas 24:34, 1 Korintus 15:5;
20. Penampakan kepada 10 murid di ruang atas, tempat Yerusalem, hari minggu berikutnya, Yohanis 20:16-31; 1 Korintus 15:5;
21. Penampakan kepada tujuh murid yang memancing, tempat Danau Galilea, Yohanis 20:1-25;
22. Penampakan kepada 11 murid di gunung, beberapa waktu kemudian, Matius 28:16-20, Markus 16:15-18;
23. Penampakan kepada lebih dari 500 orang, tempat (?), beberapa waktu kemudian, 1 Korintus 15:6;
24. Penampakan kepada Yakobus, tempat (?), beberapa waktu kemudian, 1 Korintus 15:7;
25. Penampakan kepada semua murid, tempat Bukit Zaitun, Markus 24:44-51, Kis. 1:3-9; 1 Kor. 15:7.
POKOK-POKOK DISKUSI
Setelah mengikuti uraian di atas, maka pokok-pokok berikut ini kiranya dapat didiskusikan dan ditempuh solusinya bagi GMIT yaitu:
SELAMAT BERDISKUSI!
Oleh: Pdt. Yuda D. Hawu Haba, M.Th
(Ketua Badan Perencanaan, Penelitian dan Pengembangan Pelayanan Sinode GMIT - BPPPPS)
GMIT (Gereja Masehi Injili di Timor) sejak lama memperingati “Minggu Sengsara” yang merupakan salah satu Hari Raya Gerejawi dan ‘konon’ hanya berupa sebuah Siklus Gerejawi. Meski demikian, terdapat dua hal pokok sehubungan dengan masa yang seharusnya disebut Pra Paskah. Pertama, kita menyebut seluruh minggu sebagai Minggu Sengsara. Kedua, kita merayakannya selama tujuh minggu. Di mana letak kejanggalannya?
Dalam studi liturgi, tidak pernah dikenal adanya Minggu Sengsara yang lebih dari satu hari minggu. Minggu Sengsara hanya dirayakan pada minggu terakhir sebelum Hari Paskah. Sedangkan minggu-minggu sebelumnya, selalu disebut minggu-minggu Pra Paskah. Mengapa? Karena, pada minggu-minggu Pra Paskah itu Yesus dalam kisah hidup-Nya memang belum menjalani kesengsaraan-Nya.
Yesus sendiri memasuki Yerusalem, seminggu sebelum kematian-Nya. Itulah sebabnya minggu terakhir sebelum Hari Paskah disebut Minggu Sengsara atau Minggu Palmarum. Jadi penamaan yang tepat adalah: Minggu Pra Paskah I sampai dengan Minggu Pra Paskah V, barulah Minggu Sengsara. Lalu mengapa hanya enam minggu? Bukankah biasanya terdapat 7 (tujuh) minggu menjelang Paskah?
Paskah Kristiani tidak bisa dilepaskan dari Paskah Israel. Anak domba Paskah yang dikorbankan pada Paskah Israel digantikan oleh Yesus, Anak Domba Allah (Yoh. 1 : 29; 1 Kor. 5 : 7; 1 Ptr. 1 : 19; Why. 5 : 1 – 6 : 5). Dalam tradisi Israel, yang diikuti oleh gereja, masa Paskah didahului oleh 40 hari masa persiapan yang dimulai dengan Hari Yom Kippur (Hari Penebusan). 40 hari ini melambangkan 40 tahun perjalanan Israel di padang gurun setelah penebusan mereka dari tanah Mesir.
Oleh karena itu, ada 5 minggu Pra Paskah dan 1 Minggu Sengsara (semuanya 6 minggu). Hari Minggu dalam tradisi Kristen selalu dipandang sebagai Hari Kebangkitan Tuhan Yesus, maka hari Minggu dalam Minggu Pra Paskah tidak diperhitungkan. Dengan demikian, selalu dihitung 6 x 6 = 36. Empat hari untuk menggenapi 40 hari dihitung mundur dari hari pertama Pra Paskah dan jatuh pada hari Rabu. Itulah yang disebut Rabu Abu (Ash Wednesday).
Masa Pra Paskah yang sesungguhnya dimulai dari Rabu Abu itu. Karena banyak Gereja Protestan merasa kesulitan merayakan Rabu Abu, maka mereka menggesernya ke hari Minggu sebelumnya sehingga perhitungan seluruhnya 7 hari minggu Pra Paskah. Hari Minggu sebelum Rabu Abu itu, dalam kalender liturgi disebut sebagai Hari Tranfigurasi, yaitu hari dimana Yesus dimuliakan di atas gunung, yang merupakan akhir dari lingkaran Natal. Maka, amat mengherankan, bahwa dalam akhir Lingkaran Natal, kita malah mulai merayakan Minggu Pra Paskah.
Hal ini, bukan soal pilihan atau selera, namun soal kelurusan dan pertanggungjawaban teologis-liturgis. Akankah kita sekadar meneruskan tradisi yang keliru dan kita tidak pernah mendewasakan umat, atau kita berani berubah dan mengubah diri?
Dalam khasanah liturgi, maka kita menggunakan minggu Pra Paskah I - V dengan simbol lilin untuk mmembantu kita menghitung masa Pra Paskah. Oleh karena itu, apa yang harus dilakukan dalam Pra Paskah?
v Pertobatan dan mawas diri yang dimulai pada hari Rabu Abu, terus berlanjut hingga saat pelayanan rekonsiliasi yang biasanya dirayakan dengan sebutan ibadah Kamis Putih;
v Ibadah bukan hanya berhenti pada devosi/penyembahan pribadi, berkonsentrasi pada diri sendiri, tetapi merupakan suatu perjalanan bersama yang penuh dengan nuansa pengharapan, menuju puncak tahun liturgi yaitu perayaan Pra Paskah.
Pada masa ini, kita bertekad untuk melakukan pembaharuan diri dan komuni/persekutuan, dengan menolak segala godaan dosa yang menarik citra Kristus. Seharusnya diadakan aksi pantang/puasa dengan menyisihkan uang belanja, uang rokok atau uang jajan untuk kegiatan sosial baik itu kepada anggota jemaat dan kepada saudara kita di luar gereja yang tidak mampu.
Ada pun Siklus Paskah menurut Leksionari, adalah sebagai berikut:
1. Rabu Abu
Meskipun Rabu Abu lebih banyak dirayakan oleh umat Katolik, namun ada baiknya kalau kita memahaminya. Rabu Abu adalah hari pertama pembuka masa pra Paskah, yakni masa pertobatan, perkabungan, introspeksi diri, pendekatan diri kepada Tuhan dan ‘berpuasa’. Secara umum dalam tradisi Israel, abu melambangkan kefanaan manusiawi (Kel. 3:19; 18:27), agar manusia menyesali diri dan bertobat (Yos. 7:6; Sam. 13:19; Est. 4:3; Ayb. 2:12; Yes. 58:5-7; Yeh. 27:30; Dan. 9:3; Yun. 3:6; Yoel 2:12-13; Mrk. 1:15) Sejak abad ke-4 hingga abad ke10, istilah Rabu Abu belum muncul.
Semula hari Pra Paskah pertama jatuh pada hari Minggu caput quadragesima, bukan sebelumnya. Namun jumlah hari berpuasa menjadi tidak genap empat puluh hari, hanya 36 hari. Maka pada abad ke-6, masa Pra Paskah dimulai sejak hari Rabu [tetapi belum disebut], sehingga jumlah hari puasa menjadi genap empat puluh hari.
Lambat laun, gereja memperpanjang masa Pra Paskah hingga beberapa hari Minggu sebelumnya. Menjelang abad ke-8 di Roma, Pra Paskah mulai dilakukan pada quinquagesima [lima puluh hari, hari Minggu ke-7 sebelum Paskah], sextagesima [enam puluh hari, hari Minggu ke-8 sebelum Paskah], dan septuagesima [tujuh puluh hari, hari Minggu ke-9 sebelum Paskah], sebelum hari Rabu. Setelah hari Rabu itu, hari-hari selanjutnya: Kamis, Jumat dan Sabtu, difokuskan sebagai hari Yesus Teladan umat beriman, berpaling kepada Allah dan mengikuti-Nya, berpuasa, derma, dan menghayati jalan salib.
Keempat hari tersebut diisi dengan pelatihan-pelatihan spiritualitas. Setelah Konsili Vatikan II, masa Pra Paskah disederhanakan, Pra Paskah dimulai sejak Rabu Abu hingga Kamis Putih. Namun Rabu Abu, dengan menaburkan abu, baru dilakukan secara resmi pada abad ke-13. Sebagian gereja-gereja Protestan di Indonesia dewasa ini memulai Pra Paskah dengan quinquagesima.
Penggunaan abu berangsur-angsur baru terjadi pada akhir abad ke-11 hingga abad ke-13, dari Rhenish ke Italia dan Roma oleh Paus sendiri. Paus Urbanus II dalam Sinode di Benevento (1091), merekomendasikan penggunaan abu di setiap gereja. Beberapa saat kemudian muncul doa-doa mengiringi penaburan abu, imam dan laki-laki menaburkannya di atas kepala, perempuan membubuhkannya di dahi. Dari manakah abunya diperoleh?
Pada abad ke-12, pertama kali abu diambil dari daun palem yang dikeringkan sejak Minggu Palem setahun sebelumnya. Inilah sebabnya banyak orang Kristen meletakkan daun Palem yang dibawanya dari Minggu Palem di patung salib di rumahnya. Penggunaan abu sebagai tanda pertobatan dan perkabungan sebelumnya terbatas pada ritus pribadi. Bahkan hingga tahun 1970, penaburan abu dilakukan sebelum kebaktian. Baru kemudian, abu ditaburkan kepada umat, setelah Injil dan khotbah dengan formula “ingatlah, kamu adalah debu dan akan kembali kepada debu” (Kej. 3:19), atau - di zaman modern digunakan – “bertobatlah dan percayalah kepada Injil” (Mrk. 1:15); masuk dalam liturgi firman.
2. Minggu pertama Masa Pra Paskah sampai dengan minggu kelima Masa Pra Paskah
3. Minggu Paskah: Minggu Palm/Passion, Senin di dalam Minggu Sengsara, Selasa di dalam Minggu Sengsara, Rabu di dalam Minggu Sengsara.
4. Kamis Putih
Sebagaimana dikemukakan di atas, bahwa Kamis Putih pun lebih banyak dirayakan oleh umat Katolik. Meski demikian, penting untuk kita memahaminya. Sehari sebelum Yesus disalibkan pada hari Jumat, berarti hari Kamis, di Taman Getsemani, Yesus menyerahkan diri-Nya untuk ditangkap. Ia telah mempraktikkan apa yang selama ini telah diajarkan kepada para murid-Nya. Ketaatan secara total dalam pengabdian kepada Bapa, untuk menjalankan kehendak-Nya, menunjukkan pelayanan yang menyentuh kepada manusia sebagai hamba yang melayani sekaligus berkorban bagi manusia.
Pola pelayanan Yesus, nampak ketika Ia membasuh kaki para murid-Nya satu demi satu. Suatu teladan indah telah ditinggalkan Yesus. Ini tidak hanya berhenti sekadar menjadi kenangan, tetapi harus diteruskan oleh setiap orang yang menyebut diri-Nya murid Yesus.
Di mana pun dan kapan pun, pelayanan yang kita lakukan sekarang harus mengacu kepada teladan Yesus, yang mau merendahkan diri dan menempatkan diri seperti hamba. Prinsip dalam pelayanan adalah selalu siap sedia dan bersiaga bagi mereka yang membutuhkan tanpa membedakan satu dengan yang lainnya (status sosial, suku, dan agama).
Dalam melakukan pelayanan, seringkali seseorang menjumpai godaan dari dalam maupun dari luar, seperti: merasa kerja sendiri, merasa tidak dihargai, disalah mengerti, rasa bosan, dicaci maki, selalu disalahkan. Itu semua, sering membuat kita kendor dalam melayani.
Pesan Yesus untuk menghadapi pelayanan: berjaga-jagalah dan berdoalah supaya kamu jangan jatuh ke dalam pencobaan. Roh memang penurut, tetapi daging lemah. Manusia harus bisa mengalahkannya dengan meminta kekuatan dari Tuhan.
5. Jumat Agung
Sesudah perayaan Kamis Putih, tanda dimulainya Trihari Paskah atau “tiga hari suci Paskah” yakni hari-hari untuk mengenangkan peristiwa penyaliban, penguburan/pemakaman dan kebangkitan Kristus. Drama Kamis Putih dilanjutkan dengan Jumat Agung.
Pada hari Jumat Agung itu acara ibadah hanya sekitar pengenangan pada kesengsaraan dunia yang dihayati melalui sengsara dan kematian Yesus Kristus. Kita mengenang dan menghayati, bagaimana Kristus telah memberikan teladan, dalam siksa, derita dan sengsara. Ia tetap tabah, taat dan setia dalam mengemban misi yang dipercayakan kepada-Nya. Meskipun sempat terucap “Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan Aku”? Namun Ia tetap taat dan setia sampai akhir misi… “Sudah selesai”, ucap-Nya.
Sejak awal mulanya perayaan Jumat Agung tidak pernah dirayakan sebagai perayaan eukharisti (=pengucapan syukur). Dengan demikian, kita telah dapat memahami bahwa Perayaan Perjamuan Kudus pada hari raya Jumat Agung adalah tidak tepat dan perlu dipertimbangkan dengan saksama.
6. Sabtu Teduh/Sabtu/Sepi
Setelah perayaan Jumat Agung selesai, gereja tetap memelihara keheningan berupa ibadah Sabtu Teduh/Sabtu/Sepi. Melalui ibadah, umat dibimbing utuk mengenang/merenungkan kesepian, kebimbangan bahkan keputusasaan yang terjadi pada diri murid-murid Yesus. Berbeda dengan yang mereka harapkan, ternyata Ia yang mereka andalkan telah gagal bahkan mati. Beragam sikap dan rencana sebagai ungkapan dari rasa kecewa, bimbang dan putus asa muncul. Segala sesuatu yang telah mereka lihat dan dengar dari Tuhan Yesus sendiri tentang segala sesuatu yang akan terjadi pada diri-Nya dalam mengemban misi yang dipercayakan Bapa kepada-Nya, pupus dari hati dan pikiran mereka, hilang tertelan kesepian, kebimbangan dan keputusasaan.
Dengan pengalaman “murid yang ditinggalkan gurunya” umat diajak/mau belajar untuk tetap teguh dalam pengharapan, tetap taat dan setia kepada-Nya di tengah kesepian, kebimbangan bahkan keputusasaan. Sejarah mencatat bahwa selama berabad-abad gereja mengenal “Sabtu Teduh/Sabtu Sepi” sebagai “Induk dari semua Ibadah Malam”. Malam Paskah.
7. Paskah
Secara umum, Paskah dikenal sebagai hari peringatan kebangkitan Yesus Kristus. Semula, Paskah – sebagai perayaan penyelamatan dunia yang Allah lakukan di dalam Kristus – dirayakan oleh gereja hanya satu malam, yakni pada tengah malam hingga Minggu fajar.
Sepanjang malam gereja berjaga-jaga menantikan saat-saat perayaan kebangkitan Kristus, seperti menantikan datangnya pembebasan dari perbudakan kuasa dosa, untuk merayakan kemuliaan Kristus sebagai Anak Allah. Itulah sebanya hari kebangkitan Kristus tersebut disebut Paskah, sebagaimana hari keluarnya umat Israel dari tanah Mesir melewati Laut Teberau.
Kata Paskah mengingatkan kita pada Paskah Yahudi – berasal dari kata Yunani “pascha’ atau Ibrani “pesach” yang berarti: melewati atau menyeberangi. Perbudakan di Mesir telah dilewati atau dilalui oleh bangsa Israel dan kini mereka sedang menuju ke tanah perjanjian. Kematian/perbudakan dosa telah dilewati dan kini sedang berada di dunia kebangkitan/kemerdekaan.
8. Perjamuan Kudus Pada Hari Paskah
Entah sejak kapan menjadi tradisi, siklus/lingkaran Paskah, Perjamuan Kudus diselenggarakan pada Jumat Agung. Alasan yang paling sering dikemukakan adalah bahwa Perjamuan Kudus diadakan untuk memperingati Perjamuan Terakhir yang Yesus adakan bersama keduabelas murid (Mat. 26:26-29; Mrk. 14:22-25; Luk. 22:15-20; 1 Kor. 11:23-26). Pada malam itu Yesus memerintahkan para murid-Nya untuk terus-menerus mengadakan Perjamuan Kudus untuk mengingat-Nya (rememberance).
Jika ini alasannya, maka mengapa harus diadakan pada hari Jumat? Bukankah dalam peristiwa passion, pada hari Jumat itu Yesus sudah disalibkan? Yesus mengadakan perjamuan terakhir justru pada hari Kamis atau malah mungkin sehari sebelumnya. Itu sebabnya hingga kini Gereja Katolik dan bahkan mayoritas Gereja Protestan di Amerika Serikat juga, karena selain hari itu, mereka juga menyelenggarakan Perjamuan Kudus pada hari Kamis. Dikatakan juga, karena selain hari itu, mereka juga menyelenggarakan Perjamuan Kudus, bahkan yang terpenting dari semua Perjamuan Kudus sepanjang tahun, pada malam Paskah (Easter Vigil) atau Paskah Subuh. Justru itu, agar klimaks Perjamuan Kudus pada Hari Paskah tidak terganggu, maka Perjamuan Kudus pada hari Kamis sering diadakan sebagai Perjamuan Kasih (agape feast).
Pada Hari Paskah itu pulalah, sejak Gereja mula-mula, diadakan Baptisan Kudus, agar mereka yang dibaptis pada hari itu sekaligus menikmati Perjamuan Kudus pertama mereka. Jadi liturgi pada Hari Paskah itu secara umum terdiri atas empat unsur utama. Pelayanan Terang, Pelayanan Sabda, Pelayanan Air (Baptisan Kudus) dan Pelayanan Roti-Anggur (Perjamuan Kudus).
Mengapa perlu ditegaskan bahwa Perjamuan Kudus diadakan pada Hari Paskah? Alasan utamanya adalah karena Hari Paskah itu adalah Hari Minggu. Kata “Minggu” dalam bahasa Indonesia berasal dari kata Portugis (ketika dulu kita dijajah negara itu), “Dominggo” yang berarti “Tuhan”. Jadi Hari Minggu adalah Hari Tuhan, hari dimana Kristus bangkit. Itu sebabnya saudara-saudara kita yang Muslim memilih untuk memakai kata Ahad untuk menggantikan kata Minggu.
Alkitab dalam banyak catatan yang berserakan menegaskan tradisi Hari Minggu ini sebagai hari merayakan kebangkitan Kristus. Beberapa contoh dapat dipaparkan di sini, dimana penulis Alkitab secara khusus mencantukannya. “Setelah hari Sabat lewat, ….. hari pertama minggu itu, ….. (Mat. 28:1-2; Markus 16:2; Luk. 24:1-2; Yoh. 20:1; Kis. 20:7); …... hari pertama dari tiap-tiap minggu ….. (1 Kor. 16:2).
Karena itulah dalam tradisi oikumenis, Perjamuan Kudus diselenggarakan selalu pada hari Minggu, khususnya tentu pada Hari Minggu Paskah. Secara Teologis, itu berarti, setiap Hari Minggu kita merayakan Paskah Kecil. Tradisi lain menyebutkan bahwa Justru Perjamuan Kudus pada Hari Paskah itu menjadi Feast of feasts, “Perjamuan terbesar di antara semua perjamuan”. Ironisnya, selama ini kita justru menyelenggarakan Perjamuan Kudus pada beberapa hari Minggu sepanjang tahun dan malah mengabaikan Perjamuan Kudus tenpenting setiap tahunnya, yaitu pada Hari Paskah.
Tradisi oikumenis yang merayakan Perjamuan Kudus bukan pada hari Jumat melainkan Minggu memperoleh dasar alkitabiahnya yang paling kuat dari kisah Perjalanan ke Emaus. Pada hari kebangkitan itu pulalahYesus melakukan pemecahan roti. Pada hari itu juga ….., Ia mengambil roti, mengucap berkat, lalu memecah-mecahkannya dan memberikannya kepada mereka (Luk. 24: 13, 30-31).
Apakah pengubahan tradisi dari hari Minggu Paskah menjadi hari Jumat Agung dilakukan oleh para reformator? Ternyata tidak. Justru Calvin dan para pengikutnya sendiri menetapkan dalam Tata Gereja Jenewa 1561 demikian: “… Perjamuan itu harus dirayakan empat kali setahun, yaitu pada hari Minggu yang paling dekat dengan Hari Natal. Hari Paskah, Hari Pentakosta dan hari Minggu pertama bulan September pada musim gugur”. Amat jelas bahwa keempat Perjamuan Kudus yang ditetapkan jatuh pada hari Minggu sebagai hari Tuhan, hari dimana Kristus bangkit. Khusus mengenai Perjamuan Kudus kedua, diadakan pada Hari Paskah, bukan pada Hari Jumat Agung.
Kalau demikian, dari mana tradisi pergeseran hari ini muncul? Sebagian orang berpendapat bahwa gereja Belanda yang datang ke Indonesialah yang melakukannya. Pandangan ini keliru, karena dalam Tata Gereja Belanda 1619, hal yang sama dimunculkan sebagai berikut: “Perjamuan Tuhan harus diadakan sedapat mungkin dua bulan sekali. Bila keadaan gereja memungkinkan, akan mendatangkan kebaikan jika Perjamuan diadakan pada Hari Paskah, Hari Pentakosta dan Hari Natal”.
Maka jelaslah, bahwa penyelenggaraan Perjamuan Kudus pada Hari Jumat Agung yang kian mentradisi tidak memiliki alasan yang kuat. Rasanya, kita perlu mengembalikannya menjadi Perayaan Imam Terbesar, yaitu pada Hari Paskah. Sesuai dengan namanya, eucharist yang berarti pengucapan syukur, kita tidak semata-mata mengingat Kristus yang menderita, disalibkan, dan mati pada Jumat Agung, namun justru mengucap syukur atas Kristus yang bangkit dari maut pada Paskah Kemenangan itu.
Rangkaian kegiatan gerejawi selanjutnya adalah Minggu kedua sampai dengan minggu keenam Paskah, Kenaikan Tuhan Yesus (Kamis ketujuh), Minggu ketujuh Paskah, Pentakosta, Minggu pertama sesudah Pentakosta (Hari Trinitas), Minggu-minggu sesudah Pentakosta, Minggu terakhir Pentakosta (Hari Kristus Raja).
Dari uraian di atas, menjadi refleksi bagi kita apakah semua Hari Raya Gerejawi yang kita rayakan dari waktu ke waktu sekadar sebuah siklus/lingkaran ataukah lenear/garis bujur yang wajib dimaknai dan atau sekadar tradisi?
Uraian berikut ini kiranya menolong kita guna memahami Minggu Sengsara yang seharusnya diperingati satu minggu saja.
MINGGU TERAKHIR
- Yesus masuk Yerusalem, tempat Yerusalem, hari Minggu, Matius 21:1-11, Markus 11:1-10, Lukas 19:29-44, Yohanes 12:12-19;
- Yesus mengutuk pohon ara, tempat Yerusalem, hari Senin, Matius 21:18-19, Markus 11:12-14;
- Yesus menyucikan Bait Allah, tempat Yerusalem, hari Senin, Matius 21:12-13, Markus 11:15-18, Lukas 19:45-48;
- Wibawa Yesus dipersoalkan, tempat Yerusalem, hari Senin, Matius 21:23-27, Markus 11:27-33, Lukas 20:1-8;
- Yesus mengajar di Bait Allah, tempat Yerusalem, hari Selasa, Matius 21:28-23:29, Markus 12:1-44, Lukas 20:9-21:4;
- Kaki Yesus diurapi, tempat Baitania, hari Selasa, Matius 26:6-13, Markus 12:1-44, Yohanis 12:2-11;
- Komplotan melawan Yesus, tempat Yerusalem, hari Rabu, Matius 26:14-16, Markus 14:10-11, Lukas 22:3-6;
- Perjamuan terakhir, tempat Yerusalem, hari Kamis, Matius 26:17-29, Markus 14:12-25, Lukas 22:7-20, Yohanes 13:1-38;
- Yesus menghibur murid-murid, tempat Yerusalem, hari Kamis, Yohanes 14:1-16:33;
11. Di taman Getsemani, tempat Yerusalem, hari Kamis, Matius 26:36-46, Markus 14:32-42, Lukas 22:40-46;
12. Yesus ditangkap dan diadili, tempat Yerusalem, hari Jumat, Matius 26:47-27:26, Markus 14:43-15:15, Lukas 22:4723:25, Yohanes 18:2-19:16;
13. Yesus disalibkan dan mati, tempat Golgota, hari Jumat, Matius 27:27-56, Markus 15:16-41, Lukas 23:26-49, Yohanes 19:17-30;
14. Yesus dikubur, temapat Kubur di Taman, hari Jumat, Matius 27:57-66, Markus 15:42-47, Lukas 23:50-58, Yohanes 19:31-42;
15. Kubur Kosong, tempat Yerusalem, hari Minggu Paskah, Matius 28:1-8, Markus 16:1-8, Lukas 22:4723:25, Yohanes 20:1-10;
16. Penampakan kepada Maria Magdalena, tempat Yerusalem, hari Minggu Paskah, Markus 16:9-11, Yohanes 20:11-18;
17. Penampakan kepada Perempuan lain, tempat Yerusalem, hari Minggu Paskah, Matius 28:9-10;
18. Penampakan kepada dua murid ke Emaus, tempat Jalan ke Emaus, Markus 16:12-13, Lukas 24:13-22;
19. Penampakan kepada Petrus, tempat Yerusalem, hari Minggu Paskah, Lukas 24:34, 1 Korintus 15:5;
20. Penampakan kepada 10 murid di ruang atas, tempat Yerusalem, hari minggu berikutnya, Yohanis 20:16-31; 1 Korintus 15:5;
21. Penampakan kepada tujuh murid yang memancing, tempat Danau Galilea, Yohanis 20:1-25;
22. Penampakan kepada 11 murid di gunung, beberapa waktu kemudian, Matius 28:16-20, Markus 16:15-18;
23. Penampakan kepada lebih dari 500 orang, tempat (?), beberapa waktu kemudian, 1 Korintus 15:6;
24. Penampakan kepada Yakobus, tempat (?), beberapa waktu kemudian, 1 Korintus 15:7;
25. Penampakan kepada semua murid, tempat Bukit Zaitun, Markus 24:44-51, Kis. 1:3-9; 1 Kor. 15:7.
POKOK-POKOK DISKUSI
Setelah mengikuti uraian di atas, maka pokok-pokok berikut ini kiranya dapat didiskusikan dan ditempuh solusinya bagi GMIT yaitu:
- Haruskah GMIT masih memperingati/merayakan 7 Minggu Sengsara ataukah hanya 5 Minggu Pra Paskah dan 1 Minggu Sengsara?
- Haruskah GMIT masih memperingati/merayakan Perjamuan Kudus pada hari Jumat Agung atau pada hari Raya Paskah?
SELAMAT BERDISKUSI!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar